Selasa, 09 Juni 2015

konservasi arsitektur international


Konservasi Taj Mahal


Secara umum diketahui bahwa konflik sosial di India dipicu oleh persoalan agama, misalnya antara Hindu dan Islam. Sentimen itu makin kental selepas peristiwa serangan teror di Mumbai pada 26 November tahun lalu. Namun harus diakui pula bahwa Taj Mahal yang megah dan anggun itu mengangkat India menjadi terkenal justru diba­ngun seorang raja dari dinasti Islam yang bernama Shah Jehan.
Raja yang berkuasa antara tahun 1628 sampai 1666 itu mulai pembangunan monumen agung tersebut pada 1632 dan baru rampung 22 tahun kemudian. Bangunan megah yang disebut sebagai Crown Palace itu dia dedikasikan untuk isterinya, Mumtaz Mahal yang meninggal setelah melahirkan anaknya yang keempat belas. Tidak heran jika Taj Mahal disebut sebagai Monument to Love. Menurut cerita, Taj bisa berarti kependekan nama isterinya tetapi bisa pula bermakna ''mustika'' atau ''crown'', sedangkan Mahal adalah bangunan megah bak istana. Kekhasan lainnya, bangunan tersebut didirikan di tepi Sungai Yamuna yang dipercayai penganut Hindu sebagai sungai sakral kedua setelah Gangga.
Cerita tentang keagungan dan kemegahan Taj Mahal yang terletak di Agra, sekitar 250 kilometer dari New Delhi menjadi daya tarik bagi siapa pun untuk melihat. Wajar saja, pada suatu buku panduan turis disebutkan mengenai ''kewajiban'' berkunjung ke Taj Mahal kalau ke India. ''No visit India is completed without an expedition to this shrine of mystique and love'' (Kunjungan ke India belumlah lengkap tanpa berekspedisi ke tempat suci mistis dan cinta ini), begitu bunyinya.
Tak cuma itu, kekalokaan alias kepopuleran Taj Mahal membuat seorang miliarder Bangladesh membangun replikanya di pinggiran kota Dakka. Hindustan Times (edisi 11 Desember 2008) menuliskan bahwa pembangunan Taj Mahal tiruan itu memakan waktu dua tahun. Alasan sang miliarder cukup sederhana: orang Bangaladesh pun sangat ingin melihat Taj Mahal, tetapi mereka tidak mampu mewujudkannya karena biayanya sangat mahal. Apa yang dilakukan sang miliarder membuat Pemerintah India merasa tidak senang dan akan melakukan upaya hukum jika memang detail bangunan replika menyerupai persis dengan bentuk aslinya. Mencontek monumen bersejarah dipandang sebagai pelanggaran hak cipta.
Pada kondisi normal, rerata pengunjung Taj Mahal mencapai delapan juta orang per tahun atau sekitar 20 ribu orang tiap hari. Namun serangan teror di Mumbai itu membuat jumlah pengunjung mengalami penurunan sampai 60%. Hanya saja, yang patut dicontoh adalah upaya Pemerintah India melakukan konservasi bangunan bersejarah yang masuk dalam daftar warisan dunia (world heritage) UNESCO atau disebut sebagai keajaiban dunia ketujuh.
Kalau ke sana, kendaraan pengunjung harus diparkir pada pemberhentian sejauh 1,5 km dari lokasi Taj Mahal dan harus berganti dengan bus bertenaga baterai yang tidak menimbulkan polusi dan kebisingan. Di titik pemberhentian itu, pengunjung juga bisa berganti dokar, becak, atau berjalan kaki. Ketika mulai menapaki bangunan luar Taj Mahal, pengunjung harus melepas alas kaki atau membungkus sepatunya dengan kantung kain berwarna putih yang diberikan petugas setelah membeli karcis. Kenapa harus begitu? Ini cara pengelola tempat bersejarah yang sangat cergas. Sebab, dengan begitu batuan bangunan dan ornamen lantai tidak kotor. Begitu pula, telapak sepatu ribuan pengunjung dikhawatirkan akan melampaui daya dukung struktur batuan Taj Mahal.
Perlu diketahui, arsitek Taj Mahal yaitu seorang berkebangsaan Iran bernama Ustad Ahmad Lahauri telah merancang bangunan tersebut dengan visi konservasi. Taj Mahal yang berdiri pada keluasan 35 hektare itu dikitari ruang terbuka hijau dan taman yang sangat luas. Dengan kondisi seperti itu, pusat perhatian pengunjung bisa terpencar. Di samping itu, masjid di sebelah timurnya dan replika masjid pada sisi barat juga menjadi daya tarik pengunjung. Demikian juga Sungai Yamuna di sisi selatannya yang memiliki aliran air tenang, pun menjadi pusat keterpesonaan pengunjung. Walhasil, aktivitas pengunjung tidak terpusat pada bangunan utama dalam waktu yang bersamaan. Lebih-lebih lagi, bentuk bangunan Taj Mahal yang simetris semua sisinya tampak sama ketika dipandang. Jadi, pengunjung bisa memandanginya dari berbagai penjuru secara terpencar.
Selain dikonservasi, keagungan Taj Mahal juga sangat berdaya untuk kepentingan bisnis. Konon para tenaga yang membangun Taj Mahal berasal dari suatu daerah yang disebut Makrana, tempat asal batuan marmer yang ada di situ. Anak keturunan ahli pahat batu itu sekarang berjumlah 17 orang dan tinggal di sekitar Taj Mahal. Merekalah yang diizinkan untuk menggunakan masjid di sisi timur untuk bersembahyang Jumat.
Keahlian memahat orang-orang Makrana itu didayagunakan oleh perusahaan batu marmer untuk mendongkrak nilai jual produknya. Pengunjung yang datang melalui biro perjalanan pasti dibawa singgah dan melihat kepiawaian pemahat ini mengasah batu menjadi berbagai komoditas seperti meja dan hiasan dinding yang sangat artistik. Harganya mulai dari 300 sampai 1.500 dolar AS. Kalau orang berkantung tebal dan membayangkan bisa memiliki meja marmer dan hiasan dinding mirip pahatan sekaliber Taj Mahal tentu akan tergiur membelinya.
Komersialisasi seperti itu mengingatkan saya pada nasib Candi Borobudur yang tak kalah agung dari Taj Mahal. Pada bangunan untuk Ratu Mumtaz itu, komersialisasi tidak sampai mengorbankan nilai bangunan bersejarahnya, tetapi tidak demikian dengan Borobudur. Upaya-upaya pemerintah kita meningkatkan nilai jual agar wisatawan betah lebih lama tinggal di sekitar lokasi itu pernah membuat candi kebanggaan kita itu beberapa kali diancam bakal dicabut dari daftar warisan budaya Dunia oleh UNESCO.
Mau contoh? Pada sekitar tahun 1997, pemerintah Indonesia akan membangun pertunjukan cahaya dan suara atau multimedia show (MMS) dengan teknologi canggih dari Perancis. Pertunjukkan malam hari yang menggambarkan kehidupan masa lalu di sekitar candi itu dikhawatirkan akan mempercepat pelapukan batuan candi. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh suara MMS akan mengganggu struktur batuan candi.
Begitu pula, pada 2002 dan 2003, Borobudur kembali heboh oleh rencana pemerintah menata pedagang asongan dengan konsep Jagad Jawa atau shopping street di zona 2. Padahal area itu merupakan zona penyangga dan hanya kegiatan-kegiatan yang menunjang pelestarian candi saja yang diperbolehkan. Dengan demikian kegiatan komersial seperti hotel dan kereta mini bermesin seharusnya memang tidak berada di zona penyangga itu. Benarlah dalam hal toleransi beragama, mungkin kita lebih baik ketimbang India. Tetapi untuk urusan konservasi dan komersialisasi bangunan bersejarah, seyogianya kita juga harus banyak belajar dari India, khususnya bagaimana negara itu mengelola Taj Mahal.
Tragika sang Raja Pecinta
AGRA tempat Taj Mahal berada merupakan satu dari 12 provinsi dari Kerajaan Mughal. Provinsi itu terdiri atas 13 divisi (sekarang mungkin setingkat kota/kabupaten) termasuk Agra sendiri. Dalam buku Taj Mahal: Agra and Fatehpur Sikri disebutkan bahwa Agra memiliki iklim yang sedang dan sehat. Sungai Yamuna yang mengalir tenang sepanjang 5 kilometer melengkapi kecantikan kota tersebut. Di kiri-kanan tepian sungai itu berdiri banyak rumah, vila, dan kuil persembahyangan. Maklumlah, Yamuna diperlakukan sebagai sungai sakral kedua setelah Sungai Gangga. Istana kerajaan dibangun dengan batu berwarna merah terdiri dari 500 bangunan yang dipersiapkan dengan teliti dan cermat. Pada kondisi seperti itulah, Agra menjadi ibukota Kerajaan Mughal selama hampir satu abad.
Shah Jehan merupakan keturunan kelima dari Dinasti Mughal yang naik takhta pada 1628. Di bawah kekuasaannya, dinasti itu mengalami masa keemasan. Sebagai raja, dia memimpin dengan sepenuh hati dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk kejayaan negeri. Konon, secara personal dia mengawasi setiap detail tata pemerintahan dan menunjuk orang-orang yang memiliki kemampuan kampiun menjadi menteri. Dia dikenal sebagai muslim ortodoks tetapi tidak pernah berlaku diskriminatif terhadap penganut non-Islam.
Tak hanya Taj Mahal, sang raja juga mendirikan Masjid Moti pada sisi timur Taj Mahal. Selain itu, dia juga mendirikan bangunan-bangunan terkenal di Delhi. Tahun 1636-1637, dia juga membangun Diwan I Khas, sebuah hall yang dipergunakan untuk menerima surat-surat kepercayaan dari duta besar mancanegara. Shah Jehan juga membangun Diwan I Aam yang berstruktur kayu, sebuah bangunan yang jadi simbol demokrasi karena difungsikan sebagai tempat mendengarkan petisi.
Mesjid Moti dengan tiga kubah dalam format marmer putih dipercayai sebagai penghubung antara dunia dan surga. Masjid itu tampak sangat agung, berwibawa dengan proporsi yang sempurna. Tidak jauh dari pelataran mesjid, terdapat tempat yang disebut sebagai Ladies Meena Bazzar tempat para pedagang perempuan datang dan berjualan. Kecuali sang raja, kaum laki-laki dilarang masuk ke tempat tersebut. Konon di sanalah kali kali Shah Jehan bertemu dengan Arjumand Bana yang kemudian dikenal dengan nama Mumtaz Mahal.
Taj Mahal dibangun telah lebih dari 350 tahun yang lalu tetapi aura romantisnya masih belum hilang dan menarik jutaan turis setiap tahun untuk mengunjunginya. Kekuatan magis yang tidak pernah luntur menjadikannya sebagai satu dari monumen warisan dunia. Ya, kekuatan magis cinta seperti tertera alam untaian kata-kata yang diguratkan Shah Jehan: pandangan dari bangunan megah yang menggugah rasa kesedihan/bayangan bulan dan matahari pun menitikkan air mata/di duniatempat bangunan megah itu dibuat,/menyuguhkan keagungan sang Mahapencipta.
Puisi itu mengingatkan kita bahwa di balik kemegahan Taj Mahal, ada rasa cinta mendalam yang abadi dari Shah Jehan kepada isterinya.
Sayang sekali, masa tua raja yang bijaksana, cakap, dan memiliki citarasa seni tinggi itu kurang bagus. Dia dipenjarakan oleh anaknya sendiri yang berambisi mengambil alih kekuasaan. Anaknya yang bernama Aurangzeb membiarkan Shah Jehan meninggal dipenjara dengan memandang Taj Mahal. Sungguh sebuah akhir perjalanan yang tragis.
Atas nama cinta, Kaisar Mughal, Shah Jehan membangun sebuah musoleum untuk istrinya, Mumtaz Mahal. Butuh 22 tahun mendirikan bangunan yang dilapis marmer putih dan mozaik indah. Kisah pembangunan Taj Mahal --demikian nama bangunan itu-- membuatnya menjadi simbol cinta abadi. Monumen cinta.

             Namun, keajaiban arsitektural dunia itu terancam tinggal sejarah. Monumen itu diperkirakan runtuh dalam waktu kurang dari lima tahun, jika pemerintah India tidak bertindak menangani bencana lingkungan yang jadi penyebabnya.

             Para ahli konservasi dan politisi mengatakan, pondasi Taj Mahal yang saat ini berusia 358 tahun itu membusuk karena didera kekeringan. Sungai yang mengalir di dekatnya kering kerontang akibat polusi, industri, dan deforestasi. Dasar bangunan itu kini mulai rapuh dan hancur.

            Tahun lalu, retakan dijumpai di beberapa bagian makam, sedangkan empat menara yang mengelilinginya menunjukkan tanda-tanda miring. Taj Mahal adalah atraksi turis utama India. Sekitar empat juta orang mengunjunginya tiap tahun. Citranya yang romantis membuat jutaan orang mengabadikan foto bersamanya --termasuk Putri Diana yang berpose di depan Taj Mahal, sendirian, pasca bercerai dengan Pangeran Charles.

           Ramshankar Katheria, anggota parlemen Agra yang memimpin kampanye penyelamatan Taj Mahal mengatakan, Taj Mahal sedang terancam. "Taj Mahal bisa menjadi gua dalam dua sampai lima tahun lagi," kata dia, seperti dimuat Daily Mail.  Keajaiban ini terancam kehilangan sinarnya. "Menara juga akan runtuh karena pondasinya yang dari kayu, terkubur dalam sumur, membusuk akibat kekurangan air," tambah dia.


Sementara itu, Profesor Ram Nath mengatakan, Taj Mahal berdiri di tepi Sungai Yamuna yang saat ini mengering. "Kondisi saat ini tak diantisipasi oleh orang-orang yang membangunnya. Padahal sungai ini memiliki arti fundamental. Jika sungai ini kering dan mati, sejarah Taj Mahal akan berakhir," ujar dia.  Aktivis lingkungan percaya, kampanye penanaman pohon dan jaringan pipa air bisa memperbaiki situasi kekeringan sungai, kekurangan air minum, termasuk menyelamatkan Taj Mahal.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar