BK Borobudur
Balai
Konservasi Borobudur merupakan Unit Pelayanan Teknis di lingkungan Direktorat
Jenderal Kebudayaan. Berdirinya Balai Konservasi Borobudur tidak lepas dari
Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun 1973 – 1983. Pada awalnya untuk
menangani Candi Borobudur yang telah selesai dipugar memerlukan perawatan,
pengamatan dan penelitian secara terus menerus oleh karena itu, maka pada tahun
1991 berdirilah Balai Studi dan Konservasi Borobudur. Pada tahun 2006
berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor :
PM.40/OT.001/MKP-2006 tanggal 7 September 2006 berubah namanya menjadi Balai
Konservasi Peninggalan Borobudur. Pada tahun 2011 bidang kebudayaan kembali
bergabung ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional yang kini menjadi Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan, berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 kembali berubah nama menjadi Balai Konservasi
Borobudur. Sebenarnya pada awalnya merupakan bentuk lain dari Centre for
Borobudur Studies yang berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga
teknis dalam bidang konservasi dan pemugaran. Beberapa fasilitas pendukung dan
tenaga teknis yang menguasai bidang pelestarian, khususnya pemugaran dan
konservasi, mengantarkan Balai Konservasi Borobudur menjadi pelaksana pelatihan
tenaga teknis konservasi dan pemugaran untuk institusi tingkat nasional dan
internasional. Di samping itu Balai Konservasi Borobudur juga membantu
konservasi peninggalan sejarah dan purbakala di seluruh Indonesia, bahkan di
negara Asia Tenggara.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 yang ditetapkan
pada tanggal 20 juli 2012, Balai Konservasi Borobudur mempunyai tugas pokok
melaksanakan kajian di bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi,
biologi, kimia, arkeologi, dan melaksanakan pelatihan tenaga teknis konservasi
serta perawatan Borobudur dan peninggalan purbakala lainnya. Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut Balai Konservasi Borobudur mempunyai fungsi
sebagai berikut :
Pelaksanaan
kajian konservasi terhadap aspek teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi,
kimia dan arkeologi Candi Borobudur dan cagar budaya lainnya.
Pelaksanaan
pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran Candi Borobudur, Candi Mendut, dan
Candi Pawon
Pelaksanaan
pengembangan dan pemanfaatan Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan
dokumentasi dan publikasi Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan
kemitraan dibidang konservasi, pelestarian Candi Borobudur, Candi Mendut, dan
Candi Pawon
Pelaksanaan
pengembangan metode dan teknik konservasi cagar budaya
Fasilitasi
pelaksanaan kajian konservasi Candi Borobudur dan candi lainnya serta
pengembangan tenaga teknis peninggalan purbakala; dan
Pelaksanaan
urusan ketatausahaan Balai Konservasi Borobudur.
Untuk
menunjang fungsi tersebut, Balai Konservasi Borobudur, dilengkapi berbagai
fasilitas penunjang, apalagi Candi Borobudur yang telah ditetapkan sebagai
Warisan Dunia (World Heritage) dengan Nomor 592 pada tahun 1992. Balai
Konservasi Borobudur memiliki laboratorium kimia, mikrobiologi,
fisik/petrografi, dan SEM (scaning electron microscope) dan laboratorium
lapang. Keberadaan laboratorium ini untuk mengembangkan berbagai metode
konservasi dan kajian konservasi baik dari batu, bata, kayu, dan lainnya.
Selain itu juga digunakan untuk uji coba bahan konservasi sebagai bahan
pengganti yang lebih aman, efektif dan efisien. Bahan-bahan yang telah diuji
direkomendasikan untuk pelaksanaan konservasi benda cagar budaya di Indonesia.
Balai Konservasi Borobudur melakukan kemitraan dengan berbagai universitas dan
institusi lain baik dari Indonesia maupun luar negeri. Beberapa kerjasama
kemitraan dilakukan seperti membantu pelaksanaan analisis sampel, tempat
pemagangan mahasiswa yang sedang melaksanakan penelitian, maupun kerja sama
pengembangan metode dan teknik konservasi dengan negara lain. Dalam pelaksanaan
kajian/studi bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi,
biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala
lainnya Balai Konservasi Borobudur melakukan kerjasama dengan melibatkan pakar
dari beberapa universitas di Indonesia sebagai nara sumber. Selain itu Balai
Konservasi Borobudur melaksanakan pelatihan tenaga teknis konservasi,
pemugaran, dokumentasi, dan satuan pengaman warisan dunia secara rutin .
Selain
kegiatan pengembangan konservasi Balai Konservasi Borobudur juga mengelola
berbagai arsip foto, gambar, buku, dan lainnya pada masa pemugaran Candi
Borobudur yang kedua dan untuk upaya pelestarian Candi Borobudur melaksananakan
Kegiatan monitoring Candi Borobudur secara kontinyu.
Lima
Pilar Utama
Mencermati
fungsi Balai Konservasi Borobudur, terdapat lima pilar utama yang perlu
dikembangkan untuk meningkatkan upaya pelestarian terhadap Candi Borobudur sekaligus
untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Balai Konservasi Borobudur. Lima pilar
utama tersebut sebagai berikut:
1. Kelestarian
Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia
Candi
Borobudur pertama kali dipugar pada tahun 1907-1911 oleh van Erp untuk
memperbaiki dan mengembalikan bagian Arupadatu dan stupa induk. Pemugaran kedua
pada tahun 1973-1983 oleh pemerintah Indonesia yang dibantu dari UNESCO dan
negara-negara donor. Pemugaran tahap kedua adalah untuk memperbaiki dan
mengembalikan bagian Rupadatu (tubuh candi). Meskipun pemugaran dinyatakan
sudah selesai, tetapi masih meninggalkan pekerjaan besar yaitu pemeliharaan,
perawatannya, dan pelestariannya sebagai Warisan Dunia. Candi Borobudur sebagai
salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia dan sudah ditetapkan
sebagai salah satu Warisan Dunia (World Heritage) tentunya memerlukan
pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian secara khusus sesuai
dengan standard pemeliharaan sebagai tinggalan Warisan Dunia.
Pada
kenyataannya kelestarian Candi Borobudur tentunya sangat dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang
dimaksud adalah aspek bahan dan aspek konstruksi bangunan candi. Sedangkan
faktor eksternal yang mempengaruhi kelestarian Candi Borobudur adalah faktor
lingkungan, baik yang bersifat biotis (lumut, algae, dan jasad renik lainnya)
dan yang bersifat abiotis (panas matahari, hujan, kelembaban, dan sebagainya).
Kedua faktor yang tersebut saling berinteraksi yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi kelestarian terhadap Candi Borobudur. Lebih-lebih bangunan Candi
Borobudur berada di tempat yang terbuka sehingga faktor lingkungan yang
bersifat abiotis, khususnya pengaruh air hujan, sangat berpengaruh terhadap
kelestarian bangunan Candi Borobudur.
Selain
itu itu juga ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kelestarian Candi
Borobudur sebagai dampak negatif dari pemanfaatan sebagai obyek wisata.
Pemanfaatan yang intensif sebagai obyek wisata antara lain dapat mengakibatkan
tekanan pada daya dukung (carrying capasity) baik terhadap bangunan candi
maupun lingkungan.
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kerusakan akibat faktor-faktor penyebab kerusakan dan dampak negatif dari pemanfaatan dilakukan berbagai bentuk monitoring secara kontinyu. Monitoring yang kontinyu ini juga bertujuan untuk menciptakan kondisi keterawatan (state of conservation) sesuai standard keterawatan sebagai Warisan Dunia. Monitoring rutin yang dilakukan terhadap Candi Borobudur dan lingkungannya antara lain:
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kerusakan akibat faktor-faktor penyebab kerusakan dan dampak negatif dari pemanfaatan dilakukan berbagai bentuk monitoring secara kontinyu. Monitoring yang kontinyu ini juga bertujuan untuk menciptakan kondisi keterawatan (state of conservation) sesuai standard keterawatan sebagai Warisan Dunia. Monitoring rutin yang dilakukan terhadap Candi Borobudur dan lingkungannya antara lain:
Monitoring
dan Evaluasi Keterawatan Batu Candi
Monitoring
dan Evaluasi Stabilitas Candi dan Bukit
Observasi
Dampak Lingkungan
Monitoring
Geohidrologi
Observasi
Kawasan
2. BKB
sebagai pusat studi dan kajian konservasi
Konservasi
merupakan tindakan pelestarian yang dilakukan untuk memelihara dan mengawetkan
benda cagar budaya dengan cara modern maupun tradisional sebagai upaya untuk
menghambat kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Konservasi terhadap benda
cagar budaya di Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan, baik secara metode,
teknik, maupun prosedur teknis. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain pengetahuan tentang ilmu bahan (material), pengetahuan
tentang proses kerusakan (degradasi) bahan, pengetahuan tentang bahan-bahan
konservan, pengetahuan tentang metode konservasi, dan sebagainya.
Selain
faktor-faktor tersebut di atas, penanganan konservasi tentunya dipengaruhi oleh
faktor eksternal, khususnya faktor iklim mikro setempat. Hal ini karena benda
cagar budaya umumnya rentan dari pengaruh faktor iklim. Oleh karena itu
masalah konservasi dapat menjadi masalah yang kompleks jika berbagai faktor
sudah saling memberikan pengaruh.
Kompleksitas
masalah konservasi terhadap benda cagar budaya tentunya menjadi tantangan bagi
Balai Konservasi Borobudur untuk melakukan berbagai studi dan kajian bidang
konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi.
Studi dan kajian lintas disiplin ilmu tersebut diarahkan untuk menghasilkan
metode baru yang lebih sesuai dalam hal konservasi terhadap benda cagar budaya.
Untuk
mengembangkan metode konservasi tersebut maka Balai Konservasi Borobudur secara
berkelanjutan melakukan studi dan kajian bidang konservasi, teknik sipil,
arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi terhadap Candi Borobudur
maupun peninggalan purbakala lainnya. Selain itu, metode konservasi dengan cara
tradisional, khususnya pengawetan kayu dan logam, sudah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai local genius yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun
local genius yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia yang semakin hilang dan dilupakan. Oleh karena itu metode
konservasi dengan cara tradisional perlu dinventarisir dan dikaji kembali
secara ilmiah sehingga dapat dikembangkan lagi sesuai dengan kegunaan dan
kemanfaatannya untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Di samping
itu, dengan adanya perubahan iklim global yang berupa pemanasan global
(global warming) tentunya menjadi tantangan bagi para konservator untuk mengembangkan
metode, teknik, dan prosedur konservasi sehingga dapat meminimalisir dampak
negatif akibat pemanasan global.
Untuk
mendukung studi dan kajian tersebut di Balai Konservasi Borobudur dilengkapi
dengan Laboratorium Kimia, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Petrografi,
Laboratorium SEM, Laboratorium Lapangan, Green House, Fotogrametri, dan Stasiun
Klimatologi. Fungsi laboratorium tersebut sangat penting sebagai sarana untuk
menganalisis data hasil studi dan kajian yang membutuhkan analisis laboratorium.
Untuk itu maka keberadaan dan fungsi laboratorium juga perlu dikembangkan
melalui pengembangan analisis laboratorium.
Dengan
adanya kegiatan-kegiatan yang strategis di bidang studi dan kajian konservasi
maka diharapkan dapat menghasilkan metode-metode baru untuk penanganan
konservasi benda cagar budaya, sekaligus dapat mengembalikan fungsi Balai
Konservasi Borobudur sebagai pusat studi dan kajian konservasi benda
cagar budaya yang tidak saja bertaraf nasional tetapi bertaraf internasional.
3. Pengembangan
SDM yang profesional
Salah
satu Tupoksi Balai Konservasi Borobudur adalah melaksanakan pelatihan tenaga
teknis di bidang konservasi peninggalan purbakala. Ini mengandung makna bahwa
tenaga teknis di bidang konservasi perlu dipersiapkan dengan berbagai bentuk
pendidikan dan pelatihan sehingga menjadi tenaga konservator yang siap pakai
dan profesional. Lebih-lebih tenaga konservator merupakan SDM yang memiliki
posisi pokok dalam upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya.
Seiring
dengan berjalannya waktu –dan sudah tidak mungkin dihindari– adalah
terjadinya pergantian generasi. SDM generasi tua yang ahli di bidang
pemugaran dan konservasi yang dahulu terlibat langsung dalam proyek restorasi
Candi Borobudur tahun 1973-1983 sebagian besar sudah banyak yang memasuki masa
pensiun. Bahkan pada dua atau tiga tahun ke depan tenaga-tenaga ahli dari
generasi tua sudah pensiun semua. Pergantian generasi ini tentunya tidak hanya
terjadi di lingkungan Balai Konservasi Borobudur saja tetapi juga di lingkungan
semua BPCB. Oleh karena itu kaderisasi dan regenerasi tenaga ahli di
bidang pemugaran dan konservasi merupakan program yang harus diprioritaskan.
Berkaitan dengan meningkatkan profesionalitas SDM di bidang konservasi dan
pemugaran maka kegiatan diklat, bintek, pemagangan, dan sebagainya perlu
diprogramkan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga dihasilkan
generasi baru yang ahli di bidang konservasi dan pemugaran benda cagar budaya.
Dengan
adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi
maka pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) sudah memiliki
kewenangan melakukan upaya-upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya yang
berada di wilayah masing-masing. Pelaksanaan kewenangan di setiap provinsi,
kabupaten, dan kota tentunya mengandung konsekuensi perlunya ketersediaan SDM
yang memiliki kemampuan di bidang pelestarian benda cagar budaya. Menyikapi
kondisi demikian tentunya menjadi tantangan tersendiri, perlunya menyiapkan
program diklat atau bintek yang dapat menghasilkan tenaga-tenaga pelestari
benda cagar budaya di daerah otonom.
4. Publikasi
dan penyebaran informasi
Dalam
dunia maya yang dapat diakses melalui jaringan internet, nama Borobudur sudah
menjadi ikon. Hal ini dapat dibuktikan ketika memanggil melalui search
dengan password borobudur (atau kata-kata lainnya yang berkaitan dengan
Candi Borobudur, misalnya stupa, relief, buddha, dan sebagainya) maka berbagai
tulisan dan informasi tentang Candi Borobudur sudah disajikan oleh berbagai web
site, home page, atau portal, baik yang berada di Indonesia maupun di luar
negeri. Bahkan kata borobudur tidak hanya berkaitan dengan Candi Borobudur saja
tetapi juga berkaitan dengan nama hotel, travel biro, rumah makan, dan
sebagainya. Ini semua menunjukkan dan memiliki makna bahwa Borobudur sudah
mendunia melalui jaringan dunia maya atau internet. Oleh karena itu sangat
strategis jika publikasi dan penyebaran informasi tentang Candi Borobudur
melalui jaringan internet semakin dioptimalkan (lihat/buka: www.konservasiborobudur.org).
Dengan
memanfaatkan secara optimal web site maka informasi tentang Candi Borobudur
dengan berbagai bentuk upaya pelestariannya dapat disebarluaskan melalui
jaringan internet. Lebih-lebih Candi Borobudur sebagai salah satu karya besar
bangsa Indonesia yang mengandung berbagai ilmu pengetahuan ibarat sumur yang
tidak pernah kering untuk diambil airnya. Selain itu melalui jaringan internet
berbagai hasil studi dan kajian yang berkaitan dengan konservasi benda cagar
budaya dapat dipublikasikan sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.
Publikasi
dan penyebaran informasi tidak hanya melalui jaringan internet tetapi juga
tetap memanfaatkan media publikasi, antara lain dalam bentuk buletin/jurnal, penerbitan
buku, website, film dokumenter, pameran, dan sebagainya. Dengan melalui
berbagai media maka masyarakat akan mendapatkan berbagai bentuk informasi
tentang Candi Borobudur dan hal-hal yang berkaitan dengan upaya pelestarian
benda cagar budaya.
5. Kerjasama
antar pihak
Pada
prinsipnya upaya pelestarian terhadap tinggalan budaya, dalam hal ini adalah
benda cagar budaya, tidak dapat hanya dilakukan oleh satu pihak, tetapi harus
sinergis antar pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu pemerintah, masyarakat,
LSM, kalangan akademik, dan pihak-pihak terkait lainnya. Lebih-lebih Balai
Konservasi Borobudur yang mengemban Tupoksi melaksanakan pemeliharaan Candi
Borobudur sebagai Warisan Dunia, melaksanakan studi/kajian di bidang
konservasi, serta melaksanakan pembinaan dan pelatihan tenaga teknis
konservasi, maka kerjasama dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan
menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait tidak hanya dalam perspektif pemeliharaan dan pengelolaan Candi Borobudur, tetapi juga untuk meningkatkan mutu hasil studi dn kajian di bidang konservasi. Oleh karena itu kerjasama dengan kalangan akademis dan perguruan tinggi perlu dibina dan dikembangkan, sehingga dapat terjalin hubungan kemitraan dalam mengembangkan studi dan kajian serta metode-metode baru dalam bidang konservasi.
Kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait tidak hanya dalam perspektif pemeliharaan dan pengelolaan Candi Borobudur, tetapi juga untuk meningkatkan mutu hasil studi dn kajian di bidang konservasi. Oleh karena itu kerjasama dengan kalangan akademis dan perguruan tinggi perlu dibina dan dikembangkan, sehingga dapat terjalin hubungan kemitraan dalam mengembangkan studi dan kajian serta metode-metode baru dalam bidang konservasi.
Sumber
: