Selasa, 09 Juni 2015

konservasi arsitektur di Asia Tenggara


BK Borobudur


Balai Konservasi Borobudur merupakan Unit Pelayanan Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Berdirinya Balai Konservasi Borobudur tidak lepas dari Proyek Pemugaran Candi Borobudur tahun 1973 – 1983. Pada awalnya untuk menangani Candi Borobudur yang telah selesai dipugar memerlukan perawatan, pengamatan dan penelitian secara terus menerus oleh karena itu, maka pada tahun 1991 berdirilah Balai Studi dan Konservasi  Borobudur. Pada tahun 2006 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.40/OT.001/MKP-2006 tanggal 7 September 2006 berubah namanya menjadi Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Pada tahun 2011 bidang kebudayaan kembali bergabung ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional yang kini menjadi Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 kembali berubah nama menjadi Balai Konservasi Borobudur. Sebenarnya pada awalnya merupakan bentuk lain dari Centre for Borobudur Studies yang berfungsi sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga teknis dalam bidang konservasi dan pemugaran. Beberapa fasilitas pendukung dan tenaga teknis yang menguasai bidang pelestarian, khususnya pemugaran dan konservasi, mengantarkan Balai Konservasi Borobudur menjadi pelaksana pelatihan tenaga teknis konservasi dan pemugaran untuk institusi tingkat nasional dan internasional. Di samping itu Balai Konservasi Borobudur juga membantu konservasi peninggalan sejarah dan purbakala di seluruh Indonesia, bahkan di negara Asia Tenggara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 55 Tahun 2012 yang ditetapkan pada tanggal 20 juli 2012, Balai Konservasi Borobudur mempunyai tugas pokok melaksanakan kajian di bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, arkeologi, dan melaksanakan pelatihan tenaga teknis konservasi serta perawatan Borobudur dan peninggalan purbakala lainnya. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Balai Konservasi Borobudur mempunyai fungsi sebagai berikut :
Pelaksanaan kajian konservasi terhadap aspek teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia dan arkeologi Candi Borobudur dan cagar budaya lainnya.
Pelaksanaan pengamanan, pemeliharaan, dan pemugaran Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan pengembangan dan pemanfaatan Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan kemitraan dibidang konservasi, pelestarian Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon
Pelaksanaan pengembangan metode dan teknik konservasi cagar budaya
Fasilitasi pelaksanaan kajian konservasi Candi Borobudur dan candi lainnya serta pengembangan tenaga teknis peninggalan purbakala; dan
Pelaksanaan urusan ketatausahaan Balai Konservasi Borobudur.
Untuk menunjang fungsi tersebut, Balai Konservasi Borobudur, dilengkapi berbagai fasilitas penunjang, apalagi Candi Borobudur yang telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia (World Heritage) dengan Nomor 592 pada tahun 1992. Balai Konservasi Borobudur memiliki laboratorium kimia, mikrobiologi, fisik/petrografi, dan SEM (scaning electron microscope) dan laboratorium lapang. Keberadaan laboratorium ini untuk mengembangkan berbagai metode konservasi dan kajian konservasi baik dari batu, bata, kayu, dan lainnya. Selain itu juga digunakan untuk uji coba bahan konservasi sebagai bahan pengganti yang lebih aman, efektif dan efisien. Bahan-bahan yang telah diuji direkomendasikan untuk pelaksanaan konservasi benda cagar budaya di Indonesia. Balai Konservasi Borobudur melakukan kemitraan dengan berbagai universitas dan institusi lain baik dari Indonesia maupun luar negeri. Beberapa kerjasama kemitraan dilakukan seperti membantu pelaksanaan analisis sampel, tempat pemagangan mahasiswa yang sedang melaksanakan penelitian, maupun kerja sama pengembangan metode dan teknik konservasi dengan negara lain. Dalam pelaksanaan kajian/studi  bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala lainnya Balai Konservasi Borobudur melakukan kerjasama dengan melibatkan pakar dari beberapa universitas di Indonesia sebagai nara sumber. Selain itu Balai Konservasi Borobudur melaksanakan pelatihan tenaga teknis konservasi, pemugaran, dokumentasi, dan satuan pengaman warisan dunia secara rutin .
Selain kegiatan pengembangan konservasi Balai Konservasi Borobudur juga mengelola berbagai arsip foto, gambar, buku, dan lainnya pada masa pemugaran Candi Borobudur yang kedua dan untuk upaya pelestarian Candi Borobudur melaksananakan Kegiatan monitoring Candi Borobudur secara kontinyu.
Lima Pilar Utama
Mencermati fungsi Balai Konservasi Borobudur, terdapat lima pilar utama yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan upaya pelestarian terhadap Candi Borobudur sekaligus untuk meningkatkan fungsi dan kinerja Balai Konservasi Borobudur. Lima pilar utama tersebut sebagai berikut:
1. Kelestarian Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia
Candi Borobudur pertama kali dipugar pada tahun 1907-1911 oleh van Erp untuk memperbaiki dan mengembalikan bagian Arupadatu dan stupa induk. Pemugaran kedua pada tahun 1973-1983 oleh pemerintah Indonesia yang dibantu dari UNESCO dan negara-negara donor. Pemugaran tahap kedua adalah untuk memperbaiki dan mengembalikan bagian Rupadatu (tubuh candi). Meskipun pemugaran dinyatakan sudah selesai, tetapi masih meninggalkan pekerjaan besar yaitu pemeliharaan, perawatannya, dan pelestariannya sebagai Warisan Dunia. Candi Borobudur sebagai salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia dan sudah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Dunia (World Heritage) tentunya memerlukan pemeliharaan, perawatan, dan upaya pelestarian  secara khusus sesuai dengan standard pemeliharaan sebagai tinggalan Warisan Dunia.
Pada kenyataannya kelestarian Candi Borobudur tentunya sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah aspek bahan dan aspek konstruksi bangunan candi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kelestarian Candi Borobudur adalah faktor lingkungan, baik yang bersifat biotis (lumut, algae, dan jasad renik lainnya) dan yang bersifat abiotis (panas matahari, hujan, kelembaban, dan sebagainya). Kedua faktor yang tersebut saling berinteraksi yang pada akhirnya dapat  mempengaruhi kelestarian terhadap Candi Borobudur. Lebih-lebih bangunan Candi Borobudur berada di tempat yang terbuka sehingga faktor lingkungan yang bersifat abiotis, khususnya pengaruh air hujan, sangat berpengaruh terhadap kelestarian bangunan Candi Borobudur.
Selain itu itu juga ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kelestarian Candi Borobudur sebagai dampak negatif dari pemanfaatan sebagai obyek wisata. Pemanfaatan yang intensif sebagai obyek wisata antara lain dapat mengakibatkan tekanan pada daya dukung (carrying capasity) baik terhadap bangunan candi maupun lingkungan.
Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kerusakan akibat faktor-faktor penyebab kerusakan dan dampak negatif dari pemanfaatan dilakukan berbagai bentuk monitoring secara kontinyu. Monitoring yang kontinyu ini juga bertujuan untuk menciptakan kondisi keterawatan (state of conservation) sesuai standard keterawatan sebagai Warisan Dunia. Monitoring rutin yang dilakukan terhadap Candi Borobudur dan lingkungannya antara lain:
Monitoring dan Evaluasi Keterawatan Batu Candi
Monitoring dan Evaluasi Stabilitas Candi dan Bukit
Observasi Dampak Lingkungan
Monitoring Geohidrologi
Observasi Kawasan
2. BKB sebagai pusat studi dan kajian konservasi
Konservasi merupakan tindakan pelestarian yang dilakukan untuk memelihara dan mengawetkan benda cagar budaya dengan cara modern maupun tradisional sebagai upaya untuk menghambat kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Konservasi terhadap benda cagar budaya di Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan, baik secara metode, teknik, maupun prosedur teknis. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pengetahuan tentang ilmu bahan (material), pengetahuan tentang proses kerusakan (degradasi) bahan, pengetahuan tentang bahan-bahan konservan, pengetahuan tentang metode konservasi, dan sebagainya.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, penanganan konservasi tentunya dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya faktor iklim mikro setempat. Hal ini karena benda cagar budaya  umumnya rentan dari pengaruh faktor iklim. Oleh karena itu masalah konservasi dapat menjadi masalah yang kompleks jika berbagai faktor sudah saling memberikan pengaruh.
Kompleksitas masalah konservasi terhadap benda cagar budaya tentunya menjadi tantangan bagi Balai Konservasi Borobudur untuk melakukan berbagai studi dan kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi. Studi dan kajian lintas disiplin ilmu tersebut diarahkan untuk menghasilkan metode baru yang lebih sesuai dalam hal konservasi terhadap benda cagar budaya.
Untuk mengembangkan metode konservasi tersebut maka Balai Konservasi Borobudur secara berkelanjutan melakukan studi dan kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi terhadap Candi Borobudur maupun peninggalan purbakala lainnya. Selain itu, metode konservasi dengan cara tradisional, khususnya pengawetan kayu dan logam, sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai local genius yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun local genius yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang semakin hilang dan dilupakan. Oleh karena itu metode konservasi dengan cara tradisional perlu dinventarisir dan dikaji kembali secara ilmiah sehingga dapat dikembangkan lagi sesuai dengan kegunaan dan kemanfaatannya untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Di samping itu,  dengan adanya perubahan iklim global yang berupa pemanasan global (global warming) tentunya menjadi tantangan bagi para konservator untuk mengembangkan metode, teknik, dan prosedur konservasi sehingga dapat meminimalisir dampak negatif akibat pemanasan global.
Untuk mendukung studi dan kajian tersebut di Balai Konservasi Borobudur dilengkapi dengan Laboratorium Kimia, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Petrografi, Laboratorium SEM, Laboratorium Lapangan, Green House, Fotogrametri, dan Stasiun Klimatologi. Fungsi laboratorium tersebut sangat penting sebagai sarana untuk menganalisis data hasil studi dan kajian yang membutuhkan analisis laboratorium. Untuk itu maka keberadaan dan fungsi laboratorium juga perlu dikembangkan melalui pengembangan analisis laboratorium.
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang strategis di bidang studi dan kajian konservasi maka diharapkan dapat menghasilkan metode-metode baru untuk penanganan konservasi benda cagar budaya, sekaligus dapat mengembalikan fungsi Balai Konservasi Borobudur sebagai  pusat studi dan kajian konservasi benda cagar budaya yang tidak saja bertaraf nasional tetapi bertaraf internasional.
3. Pengembangan SDM yang profesional
Salah satu Tupoksi Balai Konservasi Borobudur adalah melaksanakan pelatihan tenaga teknis di bidang konservasi peninggalan purbakala. Ini mengandung makna bahwa tenaga teknis di bidang konservasi perlu dipersiapkan dengan berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan sehingga menjadi tenaga konservator yang siap pakai dan profesional. Lebih-lebih tenaga konservator merupakan SDM yang memiliki posisi pokok dalam upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya.
Seiring dengan berjalannya waktu –dan sudah tidak mungkin dihindari–  adalah terjadinya pergantian generasi.  SDM generasi tua yang ahli di bidang pemugaran dan konservasi yang dahulu terlibat langsung dalam proyek restorasi Candi Borobudur tahun 1973-1983 sebagian besar sudah banyak yang memasuki masa pensiun. Bahkan pada dua atau tiga tahun ke depan tenaga-tenaga ahli dari generasi tua sudah pensiun semua. Pergantian generasi ini tentunya tidak hanya terjadi di lingkungan Balai Konservasi Borobudur saja tetapi juga di lingkungan semua BPCB.  Oleh karena itu kaderisasi dan regenerasi tenaga ahli di bidang pemugaran dan konservasi merupakan program yang harus diprioritaskan. Berkaitan dengan meningkatkan profesionalitas SDM di bidang konservasi dan pemugaran maka kegiatan diklat, bintek, pemagangan, dan sebagainya perlu diprogramkan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga dihasilkan generasi baru yang ahli di bidang konservasi dan pemugaran benda cagar budaya.
Dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi maka pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) sudah memiliki kewenangan melakukan upaya-upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya yang berada di wilayah masing-masing. Pelaksanaan kewenangan di setiap provinsi, kabupaten, dan kota tentunya mengandung konsekuensi perlunya ketersediaan SDM yang memiliki kemampuan di bidang pelestarian benda cagar budaya. Menyikapi kondisi demikian tentunya menjadi tantangan tersendiri, perlunya menyiapkan program diklat atau bintek yang dapat menghasilkan tenaga-tenaga pelestari benda cagar budaya di daerah otonom.
4. Publikasi dan penyebaran informasi
Dalam dunia maya yang dapat diakses melalui jaringan internet, nama Borobudur sudah menjadi ikon. Hal ini dapat dibuktikan ketika memanggil melalui search  dengan password  borobudur (atau kata-kata lainnya yang berkaitan dengan Candi Borobudur, misalnya stupa, relief, buddha, dan sebagainya) maka berbagai tulisan dan informasi tentang Candi Borobudur sudah disajikan oleh berbagai web site, home page, atau portal, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri. Bahkan kata borobudur tidak hanya berkaitan dengan Candi Borobudur saja tetapi juga berkaitan dengan nama hotel, travel biro, rumah makan, dan sebagainya. Ini semua menunjukkan dan memiliki makna bahwa Borobudur sudah mendunia melalui jaringan dunia maya atau internet. Oleh karena itu sangat strategis jika publikasi dan penyebaran informasi tentang Candi Borobudur melalui jaringan internet semakin dioptimalkan (lihat/buka: www.konservasiborobudur.org).
Dengan memanfaatkan secara optimal web site maka informasi tentang Candi Borobudur dengan berbagai bentuk upaya pelestariannya dapat disebarluaskan melalui jaringan internet. Lebih-lebih Candi Borobudur sebagai salah satu karya besar bangsa Indonesia yang mengandung berbagai ilmu pengetahuan ibarat sumur yang tidak pernah kering untuk diambil airnya. Selain itu melalui jaringan internet berbagai hasil studi dan kajian yang berkaitan dengan konservasi benda cagar budaya dapat dipublikasikan sehingga dapat diakses oleh masyarakat umum.
Publikasi dan penyebaran informasi tidak hanya melalui jaringan internet tetapi juga tetap memanfaatkan media publikasi, antara lain dalam bentuk buletin/jurnal, penerbitan buku, website, film dokumenter, pameran, dan sebagainya. Dengan melalui berbagai media maka masyarakat akan mendapatkan berbagai bentuk informasi tentang Candi Borobudur dan hal-hal yang berkaitan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya.
5. Kerjasama antar pihak
Pada prinsipnya upaya pelestarian terhadap tinggalan budaya, dalam hal ini adalah benda cagar budaya, tidak dapat hanya dilakukan oleh satu pihak, tetapi harus sinergis antar pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu pemerintah, masyarakat, LSM, kalangan akademik, dan pihak-pihak terkait lainnya. Lebih-lebih Balai Konservasi Borobudur yang mengemban Tupoksi melaksanakan pemeliharaan Candi Borobudur sebagai Warisan Dunia, melaksanakan studi/kajian di bidang konservasi, serta melaksanakan pembinaan dan pelatihan tenaga teknis konservasi, maka kerjasama dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait tidak hanya dalam perspektif pemeliharaan dan pengelolaan Candi Borobudur, tetapi juga untuk meningkatkan mutu hasil studi dn kajian di bidang konservasi. Oleh karena itu kerjasama dengan kalangan akademis dan perguruan tinggi perlu dibina dan dikembangkan, sehingga dapat terjalin hubungan kemitraan dalam mengembangkan studi dan kajian serta metode-metode baru dalam bidang konservasi.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar